PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
DOSEN : Drs. Irwan, MPd
DISUSUN OLEH :
GINTA SEPTIANTI
(RSA1C313001)
FAKULTAS KEGURUAN DA ILMU PENDIDIKAN
FISIKA
PGMIPA-U
UNIVESITAS
JAMBI
Kata Pengantar
Segala puji syukur saya panjatkan kepada kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
“Pancasila sebagai Etika Politik” ini sebagai tugas terstruktur dari Bapak
Drs. Irwan, MPd . Semoga makalah yang saya buat dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Walaupun telah berusaha semaksimal mungkin, saya merasa bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih.
Jambi,
Oktober 2013
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pancasila sebagai dasar Negara,
pedoman dan tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia.
Tidak lain dengan kehidupan berpolitik, etika politik Indonesia tertanam dalam
jiwa Pancasila.
Kesadaran etik yang merupakan
kesadaran relational akan tumbuh subur bagi warga masyarakat Indonesia ketika
nilai-nilai pancasila itu diyakini kebenarannya, kesadaran etik juga akan
lebih berkembang ketika nilai dan moral pancasila itu dapat di breakdown
kedalam norma-norma yang di berlakukan di Indonesia .
Pancasila juga sebagai suatu sistem
filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari
segala penjabaran dari norma baik norma hukum, norma moral maupun norma
kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya suatu
pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan
komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikira ini merupakan suatu nilai.
Oleh karena itu suatu pemikiran
filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman
dalam suatu tindakan atau aspek prasis melainkan suatu nilai yan bersifat
mendasar.
Nilai-nilai pancasila dijabarkan
dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma tersebut
meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang
dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian yang ke dua adalah norma
hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Maka pancasila berkedudukan sebagai
sumber dari segala hukum di Indonesia, pancasila merupakan suatu cita-cita
moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia
sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa indonesia sendiri sebagai asal
mula (kausa materialis).
Pancasila merupakan suatu sistem
nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik meliputi norma moral maupun
norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan lebih lanjut dalam
norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun
kebangsaan.
RUMUSAN
MASALAH
Rumusan masalah yang ada di makalah ini adalah :
1.
Apa
pengertian etika?
2.
Apa pengertian
nilai, norma dan moral?
3. Apa itu hierarkhi nilai?
4. Bagaimana hubungan antara nilai,
norma dan moral?
5. Bagaimana pengertian etika politik
dan politik?
6. Apa definisi dimensi politisi
manusia?
7. Nilai-nilai apa yang tergandung
dalam pancasila sebagai sumber etika politik ?
TUJUAN PENULISAN
Tujuan dalam makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui pengertian nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai
etika politik.
2.
Dapat
mengerti hubungan antara nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai
etika politik.
3.
Dapat
memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika
politik.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Etika
Etika (etimologik), berasal dari kata Yunani “Ethos” yang
berarti watak kesusilaan atau adat. Etika dan Moral sama artinya, tetapi dalam
pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dipakai untuk perbuatan yang
sedang dinilai, sedangkan etika untuk pengkajian system nilai-nilai yang ada.
Istilah lain yang identik dengan
etika
(Achmad Charris Zubair. 1987. 13-14) :
a. Susila ( Sansekerta)
b. Akhlak ( Arab )
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat
dibagi, menjadi beberapa cabang menurut lingkungan masing-masing.Cabang-cabang
itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan
filsafat praktis. Filsafat pertama berisi tentang segala sesuatu yang ada sedangkan
kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada
tersebut. Misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu
keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui dan tentang
yang transenden.
Etika adalah pemikiran sistematis
tentang moralitas. Yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan
suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Etika bukan suatu sumber
tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupaka filsafat atau pemikiran kritis
dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. (Franz Magnis-Suseno. 1986. 14-15).
Etika termasuk kelompok filsafat
praktis dan dibagi menjadi.dua kelompok yaitu etika umum dan etika
khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran danpandangan-pandangan moral.itu dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987).
Etika adalah suatu ilmu yang
membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu,
atau bagaimana kita harus menggambil sikap yang bertanggung jawab
berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).
Etika umum merupakan prinsip-
prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia sedangkan etika khusus
membahas prinsip-prinsipEtika khusus dibagi menjadi etika
individu yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika
sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam
hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika
pada pada umumnya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat
nilai "susila" dan "tidak susila", "baik" dan
"buruk". Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan
dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang
memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenarnya etika
banyak bertangkutan dengan Prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam
hubungan dengan, tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat juga
dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam
hubungan dengan tingkah laku manusia.
Etika
adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia
bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral.Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan
mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan
bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah
sebagai berikut :
1. Etika Umum, mempertanyakan
prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2. Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip
tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia,
baik sebagai individu (etikaindividual) maupun mahluk sosial (etikasosial).
Etika, dalam hal prinsip-prinsip etis, menjadi karakteryang
memodifikasi , baik bagi konsep Demorasi maupun konsep Politik. Oleh sebab itu,
penggunaan dua term itu menegaskan karakter khusus yang diaktulkan, yaitu
dimensi etis manusia didalam kemanusiaannya. Demikian pula korelasi antara
Demokrasi dan Politik. Idea demokrasi ini didasarkan pada kebebasan, kesamaan,
dan kehendak rakyat banyak yang diletakkan sebagai alat ukur politik. ( Hendra Nurtjahjo. 2005. 16 )
Etika berkaitan dengan masalah nilai karena etika pada
pokoknya membicarakan masalah masalah yang berkatan dengan prediket nilai “susila”
dan “tidak susila”,,”baik” dan “buruk”.
Etika Politik adalah filsafat moral
tentang dimensi politis kehidupan manusia. Bidang pembahasan dan metode etika
politik. Pertama etika politik ditempatkan ke dalam kerangka filsafat pada
umumnya. Kedua dijelaskan apa yang dimaksud dengan dimensi politis manusia.
Ketiga dipertanggungjawabkan cara dan metode pendekatan etika politik terhadap
dimensi politis manusia itu.
Sejak abad ke-17
filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:
Ø
Perpisahan
antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara
Ø
Kebebasan
berpikir dan beragama (Locke)
Ø
Pembagian
kekuasaan (Locke, Montesquie)
Ø
Kedaulatan
rakyat (Rousseau)
Ø
Negara hokum
demokratis/republican (Kant)
Ø
Hak-hak asasi
manusia (Locke, dsb)
Ø
Keadilan sosial
2
Pengertian Nilai, Norma, dan Moral
2.1
Pengertian
Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang
ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang
menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok.Jadi nilai itu pada
hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan
demikian,maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik
kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk
menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya
diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan
berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan
seterusnya.Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia
sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan
kepercayaan.
Nilai atau “value” (bahas Inggris) termasuk bidang kajian
filsafat, persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu
cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, theory of value). Filsafat
sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam
bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya
“kebiasaan” (wath) atau kebaikan (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu
tindakan kejiwaan tentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229)
Di dalam Dictonary of Sosciology and
Related Sciences dikemukakan nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada
pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Pada hakikaknya nilai
adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu
sendiri. Nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang “ tersembunyi” dibalik
kenyataan-kenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya kenyatan-kenyataan
lain sebagai pembawa nilai ( wartrager).
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan
manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk
selanjutnya diambil keputusan. Keputusan nilai yang dilakukan oleh subyek
penilai tentu berhubungan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia sebagai
subyek penilai, yaitu unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa ( kehendak) dan
kepercayaan. Sesuatu itu bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar,
indah, baik dan lain sebagainya.
Berbicara tentang nilai
berarti berbicara tentang das Sollen, bukan das Sein, kita masuk
kerohanian bidang makna normatif, bukan kognitif, kita masuk ke dunia ideal dan
bukan dunia real. Meskipun demikian, diantara keduanya, antara das Sollen
dan das Sein, antara yang makna normatif dan kognitif, antara dunia
ideal dan dunia real itu saling berhubungan atau saling berkaitan secara erat.
Artinya bahwa das Sollen itu harus menjelma menjadi das Sein, yang
ideal harus menjadi real yang bermakna normatif harus direalisasikan dalam
perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta.
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah,
memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat, martabatnya. Nilai
bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan
perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah
satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya.Cita-cita, gagasan,
konsep dan ide tentang sesuatu adalah wujud kebudayaan sebagai sistem nilai.
Oleh karena itu, nilai dapat
dihayati atau dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud
kebudayaan yang abstrak. Manusia dalam memilih nilai-nilai menempuh berbagai
cara yang dapat dibedakan menurut tujuannya, pertimbangannya, penalarannya, dan
kenyataannya. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan
menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur, sedangkan nilai politik
berpusat pada kekuasaan serta pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
maupun politik.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga,
berguna, memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya.
Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap
dan perilaku manusia.Nilai sebagai suatu system merupakan salah satu wujud
kebudayaan di samping system social dan karya.Oleh karenaitu, Alport
mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada
enam macam, yaitu : nilaiteori, nilaiekonomi, nilaiestetika, nilaisosial,
nilaipolitikdannilaireligi.
Di dalam Dictionary of sosiology and
Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang
ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang
menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok, ( the believed capacity of
any object to statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah
sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri.
Di dalam nilai itu sendiri terkandung
cita – cita, harapan – harapan, dambaan – dambaan dan keharusan.Berbicara
tentang nilai berarti berbicara tentang das Sollen, bukan das Sein, kita masuk
kerokhanian bidang makna normatif, bukan kognotif, kita msuk ke dunia ideal dan
bukan dunia real. Meskipun demikian, diatara keduannya saling berhubungan atau
saling berkait secara erat, artinya bahwa das Sollen itu harus menjelma menjadi
das Sein, yng ideal harus menjadi real, yang normatif harus direalisasikan
dalam perbuatan sehari – hari yang merupakan fakta.
Dalam kaitannya dengan derivasi atau
penjabarannya maka nilai-nilai dapat dikelompokkan menjadi tiga macam
yaitu:
1. Nilai
Dasar
Walaupun nilai memiliki sifat abstrak artinya tidak dapat
diamati melalui indra manusia, maupun dengan realisasinya nilai berkaitan
dengan tingkah laku atau segala aspek kehidupan manusia yang bersifat nyata
(praksis) namun demikian setiap nilai memiliki nilai dasar (dalam bahasa
ilmiahnya disebut dasar onotologis), yaitu merupakan hakikat, esensi, intisari
atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar ini bersifat
universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu misalnya
hakikat tuhan, manusia atau segala sesuatu lainnya.
2. Nilai
Instrumental
Nilai instrumental adalah manivestasi dari nilai dasar, dan
ini berupa pasal-pasal UUD 1945, perundang-undangan, ketetapan-ketetapan, dan
peraturan-peraturan lainnya yang berfungsi menjadi pedoman, kaidah, petunjuk
kepada masyarakat untuk mentaatinya.
3. Nilai
Praksis
Nilai praksis merupakan penjabaran dari instrumental dan
nilai praksis ini berkaitan langsung dengan kehidupan nyata yaitu suatu
kehidupan yang penuh diwarnai oleh pertimbangan-pertimbangantertentu
2.2
Pengertian
Norma
Kesadaran akan hubungan yang ideal akan menumbuhkan
kepatuhan terhadap peraturan atau norma. Norma adalah petunjuk tingkah laku
yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi
tertentu.
Norma sesungguhnya perwujudkan martabat manusia sebagai
makhluk budaya, sosial, moral dan religi.Norma merupakan suatu kesadaran dan
sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu,
norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma
kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat
dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi, misalnya:
a. Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b. Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal
terhadap diri sendiri,
c.
Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam pergaulan
masyarakat,
d.
Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda yang
dipaksakan oleh alat Negara.
2.3
Pengertian
Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang artinya kesusilaan,
tabiat, kelakuan.Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang yang taat kepada
aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya
,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya terjadi,
pribadi itu dianggao tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat
berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia.
Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan
norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral,
filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma
dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.
3
Pengertian Hierarkhi Nilai
Hierarkhi nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut
pandang individu –masyarakat terhadap sesuatu obyek.Misalnya kalangan
materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler
menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya.
Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
1.
Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang
memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak,
2.
Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani,
kesehatan serta kesejahteraan umum,
3.
Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan
dan pengetahuan murni,
4.
Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai
dari yang suci.
Walter G
.everet menggolongkan nilai – nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu:
a) Nilai – nilai ekonomis
b) Nilai – nilai kejasmanian c) Nilai – nilai hiburan d) Nilai – nilai sosial e) Nilai – nilai watak |
f) Nilai – nilai estetis
g) Nilai – nilai intelektual h) Nilai – nilai keagamaan |
Dari uraian mengenai macam – macam
nilai diatas, dapat dikemukakan pula bahwa yang mengandung nilai itu bukan
hanya sesuatu yang bewujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang
berwujud non material atau immatrial. Notonagoro berpendapat bahwa nilai –
nilai pancasila tergolong nilai – nilai kerokhanian, tetapi nilai – nilai
kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan vital.
Dengan demikian nilai – nilai lain
secara lengkap dan harmonis, baik nilai matrial, nilai vital, nilai kebenaran,
nilai keindahan, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nili kesucian yang
sistematika-hierarkis, yang dimulai dari sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai
‘dasar’ sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
sebagai ‘tujuan’.
4
Hubungan antara Nilai, Norma dan Moral
Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan
yang seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan
kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digaris bawahi bila seorang individu,
masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan
berkembang.
Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna
menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan
menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam
aktivitas sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari
nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat
kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya.Sementara itu,
hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti
dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang
menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang
itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.
5
Pengertian Etika Politik Dan Politik
5.1 Pengertian Etika Politik
Etika,
atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan.Etika
politik yang demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik
yang baik dan mana yang jelek.Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu?
Tidak! Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan
untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan
pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk.Sayangnya, itulah
yang terjadi di negeri ini.
Etika
politik bangsa Indonesia dibangun melalui karakteristik masyarakat yang
erdasarkan Pancasila sehingga amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan
yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Karena itu, etika
politik lebih bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya
cakupan etika politik itulah maka seringkali keberadaannya bersifat sangat
longgar, dan mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah.Ditunjang dengan alam
kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang
begitu kuat, rasa malu dan merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan.
Akibatnya
ada dua hal: (a) pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada, dan (b) tidak
berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan moralitas publik. Untuk
memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi budaya permisif, semua
serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau belum dibuat, melainkan
juga disebut serba boleh, karena untuk membuka seluas-luasnya upaya mencapai
kekuasaan (dan uang) dengan mudah.
Pokok permasalahan etika politik
Adalah legitimasi kekuasaan yang dirumuskan dengan pertanyaan dengan moral apa
seseorang atau sekelompok orang memegang dan menggunakan kekuasaan yang mereka
miliki? Betapapun besarnya kekuasaan seseorang, dia harus berhadapan dengan
tuntutan untuk mempertanggungjawabkannya. secara etika politik, seorang
penguasa yang sesungguhnya adalah keluhuran budinya.
Legitimasi kekuasaan meliputi :1. Legitimasi
etis yaitu pembenaran wewenang negara (kekuasaan negara berdasarkan
prinsip-prinsip moral) legitimasi etis kekuasaan mempersoalkan keabsahan
kekuasaan politik dari segi norma- norma moral dengan tujuan agar kekuasaan itu
mengarahkan kekuasaan ke pemakaian kebijakan dan cara-cara yang sesuai dengan
tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab.2. Legitimasi legalitas yaitu
keabsahan kekuasaan yang berkaitan dengan fungsi2 kekuasaan negara dan menuntut
fungsi2 kekuasaan negara itu dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku
Etika politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir di
Yunani pada saat struktur-struktur politik trasdisional mulai ambruk. Dengan
keambrukan itu, muncul pertanyaan begaimana seharusnya masyarakat ditata (Franz Magins Suseno.1987. 2-3 ).
Tanpa disadari, nilai etis politik bangsa Indonesia
cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga
jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus
dibayar si pejabat. Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara
prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik (dan bidang lainnya) sedang
berlarian tunggang-langgang (meminjam Giddens, “run away”) menuju ke arah
“jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa
dihargai dengan uang.
Namun demikian, perlu dibedakan antara
etika politik dengan moralitas politisi. Moralitas politisi menyangkut mutu
moral negarawan dan politisi secara pribadi (dan memang sangat diandaikan),
misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini tidak dibahas). Etika politik
menjawab dua pertanyaan:
1. Bagaimana seharusnya bentuk
lembaga-lembaga kenegaraan seperti hokum dan Negara (misalnya: bentuk Negara
seharusnya demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.
2. Apa yang seharusnya menjadi
tujuan/sasaran segala kebijakan politik, jadi apa yang harus mau dicapai baik
oleh badan legislatif maupun eksekutif.
Sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika
politik seperti:
a.
Perpisahan
antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke)
b. Kebebasan berpikir dan beragama
(Locke)
c.
Pembagian
kekuasaan (Locke, Montesquie)
d. Kedaulatan rakyat (Rousseau)
e.
Negara
hokum demokratis/republican (Kant)
f.
Hak-hak
asasi manusia (Locke, dsb)
g.
Keadilan social
Etika
politik tidak diatur dalam hukum tertulis secaralengkap akan tetapi melalui
moralitas yang bersumberpada hati nurani, rasa malu kepada masyarakat dan
rasatakut kepada Tuhan yang Maha Esa.Dalam kehidupan politik bangsa Indonesia
banyak suaramasyarakat yang menuntut dibentuknya dewankehormatan pada institusi
kenegaraan dankemasyarakatan dengan harapan etika politik dapatterwujud dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terwujudnya
etika politik dengan baik dalam kehidupanberbangsa dan bernegara sangat
ditentukan olehkejujuran dan keikhlasan hati nurani dari masing-masingwarga
negara yang telah memiliki hak politiknya untukmelaksanakan ajaran moral dan
norma-norma aturanberpolitik dalam negara.
Etika
politik mempertanyakan tanggung jawab
dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara
terhadap Negara, hukum yang berlaku dan lain sebagainya. Fungsi etika politik
dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis
untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara
bertanggung jawab.Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori,
melainkan secara rasionalobjektif dan argumentative. Etika politik tidak
langsung mencampuri politik praktis.
Tugas
etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalahidiologis dapat
dijalankan secara obyektif. Hukum dan kekuasaan Negaramerupakan pembahasan
utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penatamasyarakat yang normatif,
kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakatyang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk
individudan sosial). Jadi etika politik membahas hukum dan kekuasaan.
Prinsip-prinsipetika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi
suatu Negara adalahadanya cita-cita
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada
penyediaan alat-alat untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik
secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka, dan apiori,
melainkan secara rasional,objektif, dan argumntasi. Adalah salah satu paham
kalau etika politik langsung mau mencampuri politik praktis-sebagaimana etika
pada umumnya tidak dapat menetapkan apa yang harus dilakukan seseorang.
Tugas etika politik adalah subsidier : membantu agar pembahasan
masalah-masalah ideologis dapat dijalankan secara obyektif, artinya berdasarkan
argument-argumen yang dapat dipahami dan ditanggapioleh semua yang mengerti
permasalahan. Etika politik tidak dapat mengkhotbahi para politikus,
tetapidapat memberikan patokan-patokan orientasi dan pegangan-pegangan
normative bagi mereka yang memang mau menilai kualias tatanan dan ehidupan
politik dengan tolak ukur martabat manusia ( Franz Magins-Suseno.1986. 2-3 ).
Tujuan etika politik adalah
mengarahkan kehidupan politik yang lebih baik, baik bersama dan untuk orang
lain, dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang adil. Etika
politik membantu untuk menganalisa korelasi antara tindakan individual,
tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada. Penekanan adanya
korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya
sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara.
Pancasila merupakan dasar negara dan
sekaligus ideologi bahasa, oleh sebab itu nilai-nilai yang tersurat maupun yang
tersirat harus dijadikan landasan + tujuan mengelola kehidupan negara,bangsa,
masyarakat. Dengan kata lain nilai-nilai pancasila wajib dijadikan norma moral
dalam menyelenggarakan negara menuju cita-cita seperti tercantum dalam pembukaan
UUD 1945. Politik disatu sisi berarti kekuasaan dan disisi lain berarti
kebijaksanaan (policy). Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus mengacu
pada dasar dan ideologi negara,oleh sebab itu politik pemerintah indonesia
wajib hukumnya untuk selalu mendasarkan dirinya pada nilai-nilai atau norma
pancasila.
Etika
politik pancasila mengamanatkan bahwa pancasila sebagai nilai dasar kehidupan
bernegara, berbansa dan bermasyarakat harus dijabarkan dalam bentuk
perundang-undangan, peraturan atau ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Dengan
kata lain semua produk hukum yang berlaku diindonesia tidak boleh bertentangan
dengan jiwa dan semangat pancasila.
Misi etika politik dan pemerintahan
–Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit
politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar,
memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila
terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Etika politik ini diwujudkan dalam
bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak
berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan
kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji
lainnya.
5.2
Pengertian
Politik
Pengertian ‘politik’ berasal dari
kosakata ‘politics’, yang memiliki makna bermacam – macam kegiatan dalam suatu
sistem politik atau ‘ negara’, yang menyangkut proses penentuan tujuan – tujuan
dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan itu. Berdasarkan
pengertian – pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang
politik menyangkut konsep – konsep pokok yang berkaitan dengan negara ( state),
kekuasaan ( power), pengambilan keputusan ( decision making), kebijaksanaan (
policy), pembagian ( distribution), serta alokasi ( allocation).
Pengertian politik secara sempit,
yaitu bidang politik lebih banyak berkaitan dengan para pelaksana pemerintahan
negara, lembaga – lembaga tinggi negara, kalangan aktivis politik serta para
pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara.Pengertian
politik yang lebih luas, yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu
persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara.
Keadaan
Politik Dewasa Ini : Menurun Ataukah Timbul Kembali ?
Walaupun dalam perjalanan sejarahnya
filsafatpolitik menempati kedudukan yang penting, tapi tradisi yang
memungkinkan lahirnya karya-karya para filsuf yang terkenal boleh dikatakan
hamper berakhir. David Easton, Alfred Cobban dan lainnya berpendapat bahwa teori
politik kini telah mengalami kemerosotan yang tajam. Kemerosotan ini timbul
akibat adanya kemiskinan, pemiskinan, historisisme, relativisme, kekacauan antara ilmu pengetahuan dan
teorihyperfaktualisme,dan kondisi internal ilmu politik. ( Varma.
1982. 116-105 ).
Tujuan politik, antara
lain : –membentuk suatu masyarakat yang baik dan teratur /good society
(Aristoteles) –mengembangkan kehidupan orang lain (Paul Wellstone)
#Dimensi Politis Manusia
a.
Manusia
sebagai Makhluk Individu-Sosial
Berdasarkan fakta dalam kehidupan
sehari-hari, manusia tidak dapat mungkin memenuhi segala kebutuhannya, jikalau
mendasarkan pada suatu anggapan bahwa sifat kodrat manusia hanya bersifat
individu atau sosial saja. Dalam kapasitas moral kebebasan manusia akan
menentukan apa yang harus dilakukannya dan apa yang tidak harus dilakukannya.
Konsekuensinya ia harus mengambi
sikap terhadap alam dan masyarakat sekelilingnya, ia dapat menyesuaikan diri
dengan harapan orang lain akan tetapi terdapat suatu kemungkinan untuk melawan
mereka.
Dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum,
sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan.Dimensi ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan
kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati
dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan
dengan tindakan moral manusia, sehingga manusia mengerti dan memahami akan
suatu kejadian atau akibat yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal
ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap
manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia
tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam
masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif.
Lembaga
penata normatif masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat
hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka
harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan
otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya.
Oleh karena itu yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat
hanyalah yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lemabaga
itu adalah negara.
Penataan efektif adalah penataan de facto,
yaitu penatan yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun
perlu dipahami bahwa negara yang memiliki kekuasaan itu adalah sebagai
perwujudan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Jadi
lemabaga negara yang memiliki kekuasaan adalah lembaga negara sebagai kehendak
untuk hidup bersama ( Suseno :1987 :21).
Manusia adalah bebas sejauh ia
sendiri mampu mengembangkan pikirannyadalam hubungan dengan tujuan-tujuan dan
sarana-sarana kehidupannyadan sejauh ia dapat mencoba untuk bertindak sesuai
dengannya. Dengan kebebasannya manusia dapat melihat ruang gerak dengan
berbagai kemungkinan untuk bertindak, sehingga secara moral senantiasa
berkaitan dengan orang lain.
Oleh karena itu bagaimanapun juga ia
harus memutuskan sendiri apa yang layak atau tidak layak dilakukannya secra
moral. Ia dapat memperhitungkan tindakannya serta bertanggung jawab atas
tindakan-tindakan tersebut.
b.
Dimensi
Politis Kehidupan Manusia
Dalam Kehidupan manusia secara
alamiah, jaminan atas kebebasan manusia baik sebagai individu maupun makhluk
sosial suit untuk dapat dilaksanakan, karena terjadinya perbenturan kepentingan
di antara mereka sehingga terdapat suatu kemungkinan terjadinya anarkisme dalam
masyarakat. Dalam hubungan inilah manusia memerlukan suatu masyarakat hukum
yang mampu menjamin hak-haknya, dan masyarakat itulah yang disebut negara.
Oleh karena itu berdasarkan sifat
kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social, dimensi politis
mencakup lingkaran kelembagaan hukum dan negara, system-sistem nilai serta
ideologi yang memberikan legitimasi kepadanya.
Dalam hubungan dengan sifat kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan makhuk sosial, dimensi politis manusia
senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa
berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu pendekatan etika
politik senantiasa berkaitan dengan sikap-sikap moral dalam hubungannya dengan
kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis
manakala diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu
keseluruhan.
Dengan demikian dimensi politis manusia
dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagi
anggota masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang menentukan kerangka
kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindakan-tindakannya.
Dimensi Politik Manusia
Manusia sebagai makhluk Individu dan makhluk sosial. Berbagai paham Antropologi
filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia dari kacamata yang berbeda.
Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme memandang
manusia sebagai makhluk individu yang bebas.
Konsekuensinya dalam
setiap kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Dasar ontologis ini
merupakan dasar moral politik negara. Sedangkan paham kolektivisme yang
merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang manusia sebagai
makhluk sosial saja.
Dimensi Politik
kehidupan Manusia Dalam kehidupan manusia jaminan atas kebebasan manusia baik
sebagai makhluk individu maupun sosial sulit untuk dilaksanakan, karena
terjadinya benturan kepentingan diantara mereka sehingga terdapat suatu
kemungkinan terjadinya anaarkisme dalam masyarakat.
Dalam hubungan inilah manusia memerlukan suatu
masyarakat hukum yang mampu menjamin hak-haknya, dan }masyarakat
itulah yang disebut sebagai Negara Pengertian dimensi politis manusia ini
memiliki dua segi fundamental yaitu Pengertian dan kehendak untuk bertindak
(inilah yang senantiasa berhadapn dengan }tindakan
moral manusia).
Manusia mengerti dan
memahami akan suatu kejadian atau akibat dari kejadian tertentu, akan tetapi
hal itua dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya
terhadap orang lain. Namun sebalikny jika manusia tidak bermoral maka ia tidak
akan perduli dengan orang lain
6 Etika Pemerintahan dan Politik
Etika ini dimaksudkanuntuk mewujudkan
pemerintah yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik
yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, tanggung jawab, tanggap akan
aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam bersaing, bersedia menerima
pendapat yang benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pejabat
diamanatkan memiliki kepedulian yang tinggi dalam melayani masyarakat, siap
mundur bila terlalu melanggar kaidah dan nilai ataupun dianggap tidak mampu
memenuhi amanat masyarakat, bangsa, dan negara.
Jika
timbul masalah potensial yang bisa menimbulkan permusuhan dan pertentangan
harus diselesaikan secara musyawarah sesuai dengan nilai-nilai luhur agama dan
budaya, dengan menjunjung tinggi perbedaan sebagai suatu yang manusiawi dan
alamiah. Etika politik diharapkan mampu mensiptakan keharmonisan untuk mencapai
kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama melebihi kepentingan pribadi,
golongan dan primodal lainnya.
Etika
politik mengandung misi untuk bersifat sportif, berjiwa besar, rendah hati, dan
selalu siap untuk mundur dari jabatan bila terbukti melakukan kesalahan dan
kebijakannya bertentangan dengan hukum dan keadilan masyarakat.
Etika ini diwujudkan dalam sikap yang jujur, tata
krama politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak manipulatif, tidak
melakukan kebohongan politik, dan tidak melakukan tindakkan tak terpuji
lainnya.
7 Pancasila Sebagai Sistem Etika
Pada dasarnya, tidak seorangpun bangsa Indonesia dapat
melepaskan diri dari kelima sila pancasila tanpa menyalahi
kemanusiaan.Kedudukan pancasila merupakan sistem etika.Artinya, manusia
Indonesia harus dapat membedakan antara uyang halal dan yang haram, antara yang
boleh dan tidak boleh, walaupun dapat dilakukan.
Pancasila merupakan sebuah sistem etika yang dapat diartikan
pancasila menjadi pedoman moral langsung objektif dalam kehidupan yang
menunjukkan kearah mana gerqak perjalanan, bagaimana manusia Indonesia haeus
hidup, dan mengatur perbuatan dalam kehidupan.
Sebagai suatu sistem etika, pancasila memberi pandangan dan
prinsip tentang harkat kemanusiaan serta kultur yang dapat dijamin berhadapan
dengan pemerintahan modern.
Pancasila dikaitkan dengan sistem etika maka akan memberi
jawaban mengenai kehidupan yang dicita-citakan, sebab di dalamnya terkandung
prinsip terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik.
Selain itu, Pancasila memberi jawaban bagaimana seharusnya manusia Indonesia
bertanggungjawab dan berkewajiban sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan bernegara, selain etika kelompok
bagaimana dengan sesama warga negara. Dalam hidup berkelompok, selain etika
kelompok bagaimana warga negara Indonesia bergaul dalam hidupnya, akan muncul
etika yang berkaitan dengan kerja atau profesi, seperti etika guru/ dosen
Indonesia, etika jurnalistik/ wartawan Indonesia, dan sebagainya.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa Pancasila pun memiliki
sistem etika seperti yang telah diuraikan, yaitu memiliki etika yang bersifat
umum dan khusus; mengatur etika individual dan sosial, serta mengembangkan
etika yang berkaitan dengan lingkungan dan kerja atau profesi.
8 Etika
Politik dan Etika Pancasila
Kebijaksanaan adalah syarat yang harus dimiliki untuk
menuju kebahagiaan hidup. Karena itu, etika pada zaman itu bercorak
eudomonistik ( bahagia).
Tampilnya ajaran Imanuel Kant pada abad ke-18, masalah etika
bukan lagi masalah kebijaksanaan melainkan sudah merupakan kewajiban. Etika
menurut Imanuel Kant adalah suatu kategori imperatif dalam arti bahwa etika
bukanlah alat untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan menjadi tujuan di dalam
dirinya sendiri. Artinya etika dipatuhi, dengan etika tersebut orang berbuat
baik atau susila bukan untuk mencapai suatu tujuan melainkan untuk dan demi
kebaikan atau kesusilaan itu sendiri.
Pengertian “politik” dalam proses pemakainnya dewasa ini
terasa sudah sangat jauh menyimpang, atau mungkin sudah jauh lebih luas dari
pengertian asalnya. Konsekuensi dari sinyalemen tersebut ialah timbulnya
semacam prasangaka, sikap sinis, dan sebagainya.
Kaitan dengan Pancasila, maka etika politik dengan rasa etik
tidak lain adalah Etika Pancasila. Pancasila sebagai etika politik bagi bangsa
dan negara Indonesia adalah etika yang dijiwai oleh Falsafah negara Pancasila
yang meliputi:
1.
Etika yang
berjiwa Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung makna percaya akan adanya Tuhan
Yang Maha Esa, patuh pada perintah Tuhan dan menjauhi Larangan-Nya.
2.
Etika yang
berperikemanusiaan, mengandung makna menilai harkat kemanusiaan tetap lebih
tinggi dari nilai kebendaan, tidak membenarkan adanya rasialisme, dan sikap
membeda-bedakan manusia.
3.
Etika yang
dijiwai oleh rasa Kesatuan Nasional, mengandung makna sifat bangsa Indonesia
yanh Bhineka Tunggal Ika dan bangsa yang cinta persatuan.
4.
Etika
yang berjiwa demokrasi, mengandung makna lambang persaudaraan manusia,
sama-sama berhak akan kemerdekaan dan memperoleh kemerdekaan
5.
Etika yang
berjiwa keadilaan sosial, mengandung makna manifestasi dari kehidupan
masyarakat yang dilandasi oleh jiwa kemanusiaan, jiwa yang cinta kepada
persatuan, jiwa yang bersifat demokrasi, dan semangat mau bekarja keras.
9 HAKIKAT ETIKA PANCASILA
Rumusan pancasila yang otentik dimuat dalam
pembukaan UUD1945 alenea empat. Dalam penjelasan UUD 1945 yang disusun oleh
PPKI ditegaskan bahwa pokok-pokok pikiran yang termuat dalam pembukaan
ada empat yaitu: (persatuan, keadilan, kerakyatan dan ketuhanan menurut
kemanusiaan yang adil dan beradab), dijabarkan kedalam pancasila pasal-pasal
batang tubuh UUD 1945.
Menurut tap MPRS NO.XX/MPRS/1966 dikatakan bahwa
pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sebagai sumber segala
sumber, pancasila merupakan satu-satunya sumber nilai yang berlaku ditanah air.
Dari satu sumber tersebut diharapkan mengalir dan memancar nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan yang menjiwai setiap kebijakan yang
dibuat oleh penguasa. Hakikat pancasila pada dasarnya merupakan satu sila yaitu
gotong royong atau cinta kasih dimana sila tersebut melekat pada setiap insan,
maka nilai-nilai pancasila identik dengan kodrat manusia.
Oleh sebab itu penyelenggaraan negara yang dilakukan
oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan harkat dan martabat manusia,
terutama manusia yang tinggal diwilayah Nusantara.
10 Lima Prinsip
Dasar Etika Politik Pancasila
Kalau membicarakan
Pancasila sebagai etika politik maka ia mempunai lima prinsip itu berikut ini
disusun menurut pengelompokan pancasila, maka itu bukan sekedar sebuah
penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila memiliki
logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern
(yang belum ada dalam Pancasila adalah perhatian pada lingkungan hidup).
1.
Pluralisme
Pluralisme
adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan
positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda
pandangan hidup, agama, budaya, adat.[1][5] Pluralisme mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan
beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi.
Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang.
2. Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak
asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab. Mengapa? Karena
hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib
tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai
dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu, Hak-hak asasi manusia adalah
baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian sebagai berikut.
a. Mutlak karena
manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena
ia manusia, jadi dari tangan Sang Pencipta.
b. Kontekstual karena baru mempunyai
fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang modernitas di mana manusia
tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara
modern.
Bila mengkaji hak asasi manusia secara umum, maka dapat
dibedakan dalam bentuk tiga generasi hak-hak asasi manusia:
1) Generasi
pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di
depan hokum.
2)
Generasi kedua
(abad ke 19/20): hak-hak sosial
3) Generasi ketiga
(bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif (misalnya minoritas-minoritas
etnik).
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri
sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib
sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi
dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain.
Sosialitas manusia berkembnag secara melingkar: keluarga, kampong, kelompok
etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia.[2][6] Maka di sini termasuk rasa kebangsaan.
Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam
kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar
oleh korupsi.
4. Demokrasi
Prinsip
“kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau
sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan
dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau
boleh hidup.
Demokrasi
berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang
memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan
rakyat plus prinsip keterwakilan”.[3][7] Jadi
demokrasi memerlukan sebuah
system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya
dapat berjalan baik atas dua dasar:
a.
Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap
HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
b.
Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan
terhadap hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur
hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam
kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan.
Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan
social mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang
maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa survive di hari berikut.
Tuntutan
keadilan social tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan
ide-ide, ideology-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan social tidak sama
dengan sosialisme. Keadilan social adalah keadilan yang terlaksana. Dalam
kenyataan, keadilan social diusahakan dengan membongkar
ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu diperhatikan
bahwa ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat structural, bukan
pertama-pertama individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak
dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin),
melainkan dalam struktur-struktur politik/ekonomi/social/budaya/ideologis.
Struktur-struktur
itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan
kehendak baik dari atas. Ketidakadilan structural paling gawat sekarang adalah
sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah
diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar
ras, suku dan budaya.
Berdasarkan
uaraian di atas, tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang
adalah:
1.
Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.
2.
Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama
ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak
juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
3.
Korupsi
11
Etika
Berdasarkan Pancasila
Etika adalah cabang filsafat atau
cabangaksiologi yang membicarakan manusia, terutama tingkah laku dan perbuatan
yang dilakukan dengan sadar, dilihat dari kaca mata baik-buruk. Etika adalah
filsafat moral atau filsafat kesusilaan.
Etika pancasila adalah filsafat
moral atau filsafat kesusilaan pancasila. Etika pancasila adalah filsafat moral
atau filsafat kesusilaan yang berdasarkan atas kepribadian, ideology, jiwa dan
pandangan hidup bangsa Indonesia. Etika pancasila adalah etika yang berdasarkan
atau bersumber dan berpedoman pada norma-norma pancasila. Karena hakekat atau
intiajaran pancasila adalah ketuhanan, kemaniusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan, maka etika pancasila adalah etika yang berdasarkan atas inti ajaran
tersebut.
# Etika Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945
Etika pancasila tidak dapat
dipisahkan dengan Pembukan UUD 1945, karena Pembukan UUD 1945adalah
pengejawantahan Pancasila, atau dengan kata lain inti Pembukan UUD 1945 adalah
Pancasila.
Pembukaan UUD 1945 mengandung
sumber hukum, relihius, moral. Kodratdan filsafati. Pancasila oleh Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1996 dikatakan sebagai sumber daripada segala sumber hukum ( Sunoto.1982. 1-2 ).
12 Pancasila sebagai Etika Politik
Sejauh ini, sudah terbukti bahwa
Pancasila menjadi pusat perhatian di dalam berbagai warna politik yang dapat
kita amati.makna ideology melekat pada pancasila. Sebagai suatu system
kepercayaan, Pancasila hanya bias bermakna jika nilai-nilainya tercermin di
dalam tingkah laku abdi Negara dan warga masyarakat secara keseluruhan.
Idealnya, Pancasila hadir di dalam praktek kekuasaan Negara, menjiwai setiap
kebijakan pemerintah, menjadi landasan di dalam berbagai interaksi politik,
serta menyemangati hubungan ekonomi, sosila, dan budaya bangsa Indonesia.
Dalam praktik pemerintahan,
pengamalan nilai-nilai Pancasila seharusnya menjadi landasan etis. Pancasila
sepatutnya hadir sebagaisuatu system yang mewakili kepribadian bangsa.
Pemerintah yang berdasarka Demokrasi Pancasila sepantasnya menjadi acuan yang
jelas bagi semua WNI dalam berbagai tingkatan dan ruang lingkup politik.
Melihat semua kemungkinan itu, sangat wajar jika pada tataran
analisis lebih lanjut Pancasila sebagai etika politik perlu ditegaskan sebagai
tolak ukur untuk menilai keberhasilan bangsa membangun sebuah system
pemerintahan yang memihak kepada kepentingan rakyat.
Berdasarkan etika politik bangsa
Indonesia, dapat dipahami bahwa sila pertama adalah dasar etika politik yang
bersifat rohaniah, dan atas dasar itu dibangun hubungan etika politik bangsa
Indonesia dalam empat fondasi gerak dan aktivitas politik yang mempertimbangkan
nilai Pancasila.
Dengan dasar-dasar ini sebagi
pimpinan dan pegangan pemerintah Negara pada hakikatnya tidak boleh menyimpang
dari jalan lurus untuk mencapai kebahagiaaan rakyat. Dengan bimbingan dasar
yang tinggi dan murni akan dilaksanakan tugas yang tidak ringan (Kaelan dan Achmad Zubaidi. 2004. 62-69 ).
Namun realita yang
terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa penerapan pancasila sebagai etika politik
sudah mulai terkikis. Salah satu contoh kecilnya adalah curi start dalam
berkampanye. Sampai ke tindakan korupsi yang sudah menjadi tontonan kita
sehari-hari di tv.
13 PANCASILA SEBAGAI MORAL NEGARA
Penetapan
pancasila sebagai dasar negara mengamanatkan bahwa moral pancasila juga menjadi
moral negara, artinya negara tunduk pada moral, negara wajib mengamalkan moral
pancasila.
Seluruh tindakan kebijakan negara harus
disesuaikan oleh pancasila. Seluruh perundang-undangan wajib mengacu pada pancasila,
nilai-nilai pancasila menjadi pembimbing dalam pembuatan policy. Membantu dan
menolong para fakir miskin, yatim piatu, anak terlantar.
Sebagai moral negara, pancasila
mengandung kewajiban-kewajiban moral bagi negara indonesia yaitu antara lain:
a. Sila ketuhanan yang maha esa
- Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama masing-masing
- Negara harus berusaha memberantas peraktek-peraktek keagamaan yang tidak baik dan menggangu kerukunan hidup masyarakat.
- Negara wajib memberi peluang yang sama kepada setiap agama untuk berdakwah, mendirikan tempat ibadah, ekonomi dan budaya.
- Membantu dan menolong para fakir miskin, yatim piatu, anak terlantar.
- Kewajiban moral diatas bila dikaitkan dengan UUD 1945 menjadi kewajiban politisi negara yaitu mengatur, mengayomi, membimbing warganya.
b. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
- Negara memperlakukan setiap orang sebagai manusia, menjamin dan menegakkan hak dan kewajiban asasi.
- Negara wajib menjamin semua warga negara secara adil dengan membuat UU yang tepat dan melaksanakannya dengan baik.
- Negara harus ikut bekerjasama dengan bangsa lain membangun dunia yang lebih baik.
c. Sila persatuan Indonesia
- Negara tetap harus menjunjung tinggi asas Bhineka tunggal ika.
- Menolak paham primordialisme (sukuisme, separatisme), memperjuangkan kepentigan Nasional.
- Menentang chauvinisme, kolonialisme, sebaliknya mengembangkan pergaulan antar bangsa.
d. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Mengakui dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
- Meningkatkan partisipasinya dalam proses pembangunan.
- Mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
- Menghormati perbedaan pendapat, menjamin kebesan berserikat dan berkumpul.
- Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama masing-masing
- Negara harus berusaha memberantas peraktek-peraktek keagamaan yang tidak baik dan menggangu kerukunan hidup masyarakat.
- Negara wajib memberi peluang yang sama kepada setiap agama untuk berdakwah, mendirikan tempat ibadah, ekonomi dan budaya.
- Membantu dan menolong para fakir miskin, yatim piatu, anak terlantar.
- Kewajiban moral diatas bila dikaitkan dengan UUD 1945 menjadi kewajiban politisi negara yaitu mengatur, mengayomi, membimbing warganya.
b. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
- Negara memperlakukan setiap orang sebagai manusia, menjamin dan menegakkan hak dan kewajiban asasi.
- Negara wajib menjamin semua warga negara secara adil dengan membuat UU yang tepat dan melaksanakannya dengan baik.
- Negara harus ikut bekerjasama dengan bangsa lain membangun dunia yang lebih baik.
c. Sila persatuan Indonesia
- Negara tetap harus menjunjung tinggi asas Bhineka tunggal ika.
- Menolak paham primordialisme (sukuisme, separatisme), memperjuangkan kepentigan Nasional.
- Menentang chauvinisme, kolonialisme, sebaliknya mengembangkan pergaulan antar bangsa.
d. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Mengakui dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
- Meningkatkan partisipasinya dalam proses pembangunan.
- Mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
- Menghormati perbedaan pendapat, menjamin kebesan berserikat dan berkumpul.
14 MORAL PANCASILA DALAM BIDANG POLITIK
Politik
adalah kebijakan khusus dalam aspek kekuasaan pemerintah yaitu kekuasan untuk
membuat UU bersama DPR.
Dalam penjelasan UUD 1945
ditegaskan bahwa sila-sila pancasila yang termuat dalam alenea IV pembukaan UUD
1945 dijabarkan kedalam pasal-pasal batang tubuh UUD 1945 sebagai contoh:
a. Sila pertama : dijabarkan pada pasal 29
b. Sila kedua : dijabarkan kedalam pasal 27,28,28A,28J,Pasal 31,34.
c. Sila ketiga : dijabarkan dalam pasal 32,35,36,36A,36B,dan 36C.
d. Sila keempat : dijabarkan kedalam pasal 1,2,3,16,27.
e. Sila kelima : dijabarkan kedalam pasal 24 dan 33
a. Sila pertama : dijabarkan pada pasal 29
b. Sila kedua : dijabarkan kedalam pasal 27,28,28A,28J,Pasal 31,34.
c. Sila ketiga : dijabarkan dalam pasal 32,35,36,36A,36B,dan 36C.
d. Sila keempat : dijabarkan kedalam pasal 1,2,3,16,27.
e. Sila kelima : dijabarkan kedalam pasal 24 dan 33
Pasal-pasal batang tubuh UUD
selanjutnya dijabarkan kedalam tap MPR. tap MPR dijabarkan kedalam UU
kemudian UU dijabarkan kedalam peraturan pemerintah atau KEPRES.
Secara singkat dapat diutarakan
bahwa moral pancasila dalam kehidupan politik tampak dalam, pasal-pasal UUD
1945 ketetapan MPR (TAP MPR), undang-undang (UU) peraturan pemerintah (PP)
keputusan presiden (KEPRES) dll.
15
Nilai-nilai Terkandung Dalam
Pancasila Sebagai Sumber Etika
Politik
Pancasila
sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara yang merupakan satukesatuan nilai yang
tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing sila-silanya. Karena jika
dilihat satu persatu dari masing-masing sila itu dapat sajaditemukan dalam
kehidupan berbangsa yang lainnya. Namun, makna Pancasilaterletak pada nilai-nilai
dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tidak bisa ditukar balikan letak dan susunannya.
Etika politik
berdasarkan Pancasila sebagai bagian dari konsep etika Pancasila secara umum
mengacu kepada hakikat nilai pancasila. Hakikat manusia Indonesia adalah sifat
dan keadaan yang berperi-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperi-Kemanusiaan,
berperi-Kebangsaan, berperi-Kerakyatan, dan berperi-Keadilan sosial.
Sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha
Esa’ serta sila kedua ‘ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan
sumber nilai –nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai
dengan:
a) Asas legalitas ( legitimasi
hukum).
b) Di sahkan dan dijalankan secara
demokratis ( legitimasi demokratis)
c) Dilaksanakan berdasarkan prinsip –
prinsip moral / tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).
Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasan, kenijaksanan yang
menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarka legitimasi moral
religius ( sila 1 ) serta moral kemanusiaan ( sila 2).
Negara
Indonesia adalah negara hukum, oleh krena itu ‘ keadilan’ dalam hidup bersama (
keadilan sosial ) sebgai mana terkandung dalam sila 5, adalah merupakan tujuan
dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan pnyelenggraan
negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa
harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.Negara adalah berasal dari rakyat dan
segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (
sila 4).
Oleh karena
itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan negara.Oleh karena itu
pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta
kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok negara.
*Nilai-nilai Etika dalam
Pancasila
Etika memberi manusia orientasi
bagaimana ia melakukan semua tindakan sehari-harinya baik dalam masyarakat
maupun dalam bernegara. Etika mambantu manusia menunjukan nilai-nilai untuk
membulatkan hati mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu dilakukan
dan mengapa hal itu dilakukan.
Pancasila adalah etika bagi bangsa
Indonesia dalam bermasyarakat dan bernegara. Adapun nilai-nilai etika yang
terkandung dalam Pancasila tertuang dalam berbagai tatanan berikut ini:
1.
Tatanan
bermasyarakat
2.
Tatanan
bernegara
3.
Tatanan
kerjasama antar negara atau tatanan luar negeri
4.
Tatanan
pemerintah daerah
5.
Tatanan
hidup beragama
6.
Tatanan
bela negara
7.
Tatanan
pendidikan
8.
Tatanan
berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat
9.
Tatanan
hukum dan keikutsertaan dalam pemerintahan
10. Tatanan kesejahteraan sosial
16 Penerapan Nilai-nilai Etika Pancasila dalam
Kehidupan Politik.
Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam Negara
dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu
dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, disahkan dan dijalankan secara
demokratis (legitimasi demokrasi), dan dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip moral (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem
filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan penyelenggaraan
Negara, baik itu yang berhubungan dengan kekuasaan, kebijakan umum, pembagian
serta kewenangan harus berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
pancasila. Dengan demikian, pancasila merupakan sumber moralitas dalam proses
penyelenggaraan Negara, terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan
dan hukum. Pelaksanaan kekuasaan dan penegakan hukum dinilai bermoral jika
selalu berdasarkan pancasila, bukan berdasarkan kepentingan penguasa belaka.
Jadi pancasila merupakan tolok ukur moralitas suatu penggunaan kekuasaan dan
penegakan hukum.
Sebagai
dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber peraturan
perundang-undangan melainkan juga sumber moralitas utama dalan hubungannya
dengan legitiminasi kekuasaan, hukum serta berbagai }kebijakan
dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan. Ketuhanan Yang Maha Esa serta sila kedua
Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah merupakan sumber nilai – nilai moral
bagi kehidupan kebangsaan dan }kenegaraan.
Negara Indonesia yang berdasarkan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah
negara Teokrasi yang mendasarkan kekuasaan dan penyelenggaraan negara pada
ligitiminasi religius.
Kekuasaan kepala negara tidak mendasarkan pada
legitiminasi religius melainkan mendasarkan pada legitiminasi hukum dan
demokrasi. Oleh karena itu asas sila pertama lebih berkaitan dengan legitiminasi
moral. Inilah yang membedakan negara yang Berketuhanan yang Maha Esa dengan
teokrasi. Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitiminasi
religius, namun secara moralitas kehiodupan negara harus sesuai dengan
nilai-nilai yang berasal dari Tuhan, terutama hukum serta moral dalam kehidupan
bernegara.
Negara Indonesia berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernyataan tersebut secara normative merupakan
artikulasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Akan tetapi harus diingat, pernyataan tersebut bukan sebuah
penegasan bahwa Indonesia adalah Negara teokrasi yang mendasarkan kekuasaan
Negara dan penyelenggaraan Negara berdasarkan legitimasi religious, dimana
kekuasaan kepala Negara bersifat absolute atau mutlak.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa lebih berkaitan
legitimasi moral. Artinya, proses penyelenggaraan Negara dan kehidupan Negara
tidak boleh diarahkan pada paham anti Tuhan dan anti agama, akan tetapi
kehidupan dan penyelenggaraan Negara harus selalu berdasarkan nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian sila pertama merupakan legitimasi
moral religious bagi bangsa Indonesia.
Selain berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, Negara Indonesia juga harus berkemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan kata lain, kemanusiaan yang adil dan beradab memberikan legitimasi moral
kemanusiaan dalam penyelenggaraan Negara. Negara pada prinsipnya adalah
persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia merupakan dasar kehidupan
serta pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara. Oleh karena itu asas-asas
kemanusiaan mempunyai kedudukan mutlak dalam kehidupan Negara dan hukum,
sehingga jaminan hak asasi manusia harus diberikan kepada setiap warga Negara.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mempunyai keterkaitan yang sangat erat
dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kedua sila tersebut memberikan
legitimasi moral religius (sila Ketuhanan Yang Maha Esa) dan legitimasi moral
kemanusiaan (sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dalam kehidupan dan proses
penyelenggaraan Negara, sehingga Negara Indonesia terjerumus ke dalam Negara
kekuasaan.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan juga merupakan sumber
etika politik bagi bangsa Indonesia. Sila ini menegaskan bahwa Negara berasal
dari rakyat dan segala kebijakan dan kekuasaan diarahkan senantiasa untuk
rakyat. Sila ini memberikan legitimasi demokrasi bagi penyelenggaraan Negara.
Oleh karena itu, dalam proses
penyelenggaraan Negara, segala kebijakan, kewenangan dan kekuasaan harus
dikembalikan kepada rakyat. Dengan demikian, aktivitas politik praktis yang
menyangkut kekuasaan ekseekutif, legislatif dan yudikatif serta konsep
pengambilan keputusan, pengawasan dan partisipasi harus berdasarkan legitimasi
dari rakyat.
Sila keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia memberikan legitimasi hukum (legalitas) dalam kehidupan dan
penyelenggaraan Negara. Indonesia merupakan Negara hukum yang selalu menjunjung
tinggi aspek keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan tujuan dalam kehidupan
Negara, yang menunjukkan setiap warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan
adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Oleh karena itu, untuk mencapai aspek
keadilan tersebut, kehidupan dan penyelenggaraan Negara harus senantiasa
berdasarkan hukum yang berlaku. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan
dalam kehidupan Negara, yang bisa mengakibatkan hancurnya tatanan hidup
kenegaraan serta terpecahnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Nilai-nilai yang terkandung dalam
setiap sila pancasila harus dijadikan patokan bagi setiap penyelenggara Negara
dan rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut harus diimplementasikan dalam
berbagai bidang kehidupan, sehingga pada akhirnya akan terbentuk suatu
pemerintahan yang etis serta rakyat yang bermoral pula.
17
Pendidikan Pancasila Sebagai
Pendidikan Politik
Pancasila
harus menjadi satu-satunya asas dalam kehidupan dan kenegaraan RI, oleh karena
itu, penyarahan peran sebagai pendidikan politik ini kepada PPS memang layak.
Selain itu, pancasila harus tampil dalam setiap aspek keghidupan masyarakat dan
Negara.
Pendidikan
Pancasila berperan sebagai wahana program pendidikan politik, dimana peserta
didik penerus bangsa Negara RI ini dibina kemantapan pemahaman tantang tata
bernegara menurut nilai moral Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
dn batang tubuh UUD 1945.
Menurut
program Pendidiikan Politik ini pula dibina dan ditingkatkan pemahaman dan kemampuan
untuk mewujudkan cita-cita Pancasila, yakni mencerdaskan dan mensejahterakan
rakyatmelalui pembangunan nasional sesuai kemampuan dan keadaan masing-masing.
Pendidikan
politik membina kesadaran peserta didik akan masalah yang sedang dan akan dihadapi
dirinya, kehidupan serta pemerintah Negara dalam melaksanakan tugas dan peran
masing-masing serta pencapaian tujuan nasional.
Lebih dari
itu, mereka pun akan dimotivasi untuk mau dan mampu memecahkan segala masalah.
Maka karenanya Program Pendidi kan Pancasila hendaknya tidak hanya menampilkan
Pancasila sebagai normative saja, namun juga menampilkan pelajara dengan misi
diatas.
( M. Azis Toyibin dan A.Kosasih Djahiri. 1991. 6-7 ).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara substantif pengertian etika politik
tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh
karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa menunjuk kepada
manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian
kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia
sebagai manusia.
Walaupun dalam hubungannya dengan
masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar
fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika
politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagi
makhluk yang beradab dan berbudaya.
Pancasila adalah sebagai suatu
sistem filsafat yang pada hakikatnya merupakan nilai sehingga merupakan sumber
dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma
kenegaraan laianya.
Suatu pemikiran filsafat tidak
seccara langsung menyajikan norma – norma yang merupakan pedoman dakam suatu
tindakan atau aspek praktis melainkan nilai – nilai yang bersifat mendasar.
Etika adalah suatu ilmu yang
membahas tentang prinsip – prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia
yang membicarakan masalah – masalah yang berkaitan dengan predikat “susila” dan
“tindak susila”, “baik” dan “buruk”.
Hubungan sistematik antara nilai,
norma dan moral tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praktis dalam
kehidupan manusia.
Etika politik adalah termasuk lingkup
etika sosial manusia yang secara harfiah berkaitan dengan bidang kehidupan
politik
Saran
Pancasila hendaknya disosialisasikan
secara mendalam sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dalam berbagai segi
terwujud dengan adanya kesianambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan
mentaati peraturan yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara
ditentukan oleh kondisi pemerintah yang absolut dengan adanya dukungan rakyat sebagai
bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M. Fachri.2003. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan
Tinggi. Padang. Universitas Negeri Padang.
Magnis,
Franz dan dan Suseno.1986. ETIKA DASAR. Jakarta.
Gramedia.
Nurtjahjo, Hendra.2005. Filsafat Demokrasi. Jakarta. Bumi Aksara.
Sunoto. 1982. Mengenal FILSAFAT PANCASILA
Pendekatan Melalui : Etika
Pancasila. Yogyakarta. Hanindita.
Toyibin,
M, Azis dan Djahiri, A, Kosasih. 1991.
Pendidikan Pancasila II. Jakarta.
DEPDIKBUD.
Varma.1982. Teori Politik Modern. Universitas
Rajasthan, New Delhi. Rajawali.
Zubair, Achmad Charris. 1987. Kuliah Etika. Yogyakarta. Rajawali.
Thanks... keren keren 😊👍👍
BalasHapus